4 Poin penting yang ditolak oleh presiden RI Joko Widodo dalam Revisi UU KPK

Spread the love

Www.KontraSindependent.com-Media Sarana Restorasi dan Informasi Publick-13-Spt-2019-Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui usulan DPR untuk merevisi UU KPK,Meski mendapat pro dan kontra Presiden RI 2019-2024 Jokowi memastikan telah mendengarkan dan mempelajari serius tentang seluruh masukan-masukan yang diberikan masyarakat dan para pegiat anti korupsi sebelum merespon usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Karena itu ketika ada inisiatif DPR untuk mengajukan RUU KPK maka tugas pemerintah adalah meresponnya juga Menyiapkan DIM dan menugaskan menteri untuk mewakili presiden dalam pembahasna bersama DPR,” Ungkap Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13-Spt-2019).

Jokowi menegaskan, meski UU KPK direvisi, namun dirinya ingin lembaga antirasuah KPK tersebut tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi.

“Karena itu KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai. Harus lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi,” imbuhnya.

Jokowi juga menegaskan, dirinya tidak setuju dengan Revisi UU KPK yang betpotensi mengurangi tugas KPK.

Inilah 4 poin yang ditolak Jokowi dalam revisi UU KPK:

1. Tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya harus izin ke pengadilan. KPK cukup memperoleh izin dari dewan pengawasan untuk menjaga kerahasiaan.

2. Tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksana saja. Penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. “Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar,” tegas Jokowi.

3. Tidak setuju KPK wajib koordinasi dengan kejagung dalam penuntutan. Karena sistem penuntan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi.

4. Tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian/lembaga lain.

Pandangan Pemerintah

“Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Terhadap isu lain saya mempunyai catatan dan pandangan yang berbeda terhadap subtansi yang diusulkan oleh DPR,” imbuhnya.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan pandangan pemerintah mewakili presiden atas Rancangan Undang-Undang Nomor 30 Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atau revisi atas Undang-Undang Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada poin pertama, ujar Yasonna, bahwa terkait pengangkatan Dewan Pengawas, pemerintah berpandangan bahwa pengangkatan ketua dan anggotanya merupakan kewenangan Presiden.

“Menurut pemerintah, hal ini untuk meminimalisir waktu dalam proses penentuan dalam pengangkatannya. Hal ini untuk menghindari kerancuan normatif dalam pengaturannya, serta terciptanya proses check and balance, transparansi, dan akuntabilitas,” kata Yasonna rapat bersama Baleg di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12-Spt-2019).

Kemudian, dalam penyelenggaraan pengangkatan Dewan Pengawas, mekanismenya tetap melalui panitia seleksi dan membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terhadap calon anggota pengawas mengenai rekam jejaknya.

Poin kedua disampaikan Yasonna, bahwa keberadaan penyelidik dan penyidik independen Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan berkesinambungan, membuka ruang dan mengakomodasi penyelidik dan penyidik KPK berstatus sebagai pegawal Aparatur Sipil Negara atau ASN.

“Dalam RUU ini pemerintah mengusulkan adanya rentang waktu yang cukup (selama 2 tahun) untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik tersebut dalam wadah Aparatur Sipil Negara, dengan tetap memperhatikan standar kompetensi mereka, dengan lulus pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Yasonna.

Poin ketiga, perihal penyebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenal pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang menyebutkan KPK merupakan lembaga penunjang terpisah atau bahkan independen merupakan lembaga di ranah eksekutif.

“Karena melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK merupakan lembaga negara sebagai state auxiliary agency atau lembaga negara di dalam ranah eksekutif yang dalam pelaksanaan tugas dan bebas dari pengaruh dan wewenangnya bersifat independen kekuasaan mana pun,” terang Yasonna.

Terakhir, pemerintah berpandangan perlu menyampaikan beberapa usulan perubahan substansi misalnya yang berkaitan dengan koordinasi penuntutan, penyebutan istilah atau terminolog lembaga penegak hukum, pengambilan sumpah dan janji Ketua dan Anggota Dewan Pengawas, dan laporan harta kekayaan penyelenggara negara.

“Demikian, Pemerintah bersedia dan terbuka untuk melakukan pembahasan secara lebih mendalam terhadap seluruh materi muatan dalam RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini sesuai dengan mekanisme pembahasan RUU yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,” Yasonna menandasi.

Sebagai informasi adapun tanggapan Pemerintah mengenal RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara terperinci akan disampaikan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Dengan demikian ditegaskan kembali, pemerintah menyambut baik dan siap membahas usul inisiatif DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam rapat berikutnya,(Tim Independent Jakarta)

By:KontraS Independent Media Sarana Restorasi dan Informasi Publick.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *